1 April 2016

Bahasa: Antara Budaya dan Tata Bahasa


Sebetulnya saya pengen nulis blog ini dengan Bahasa Inggris, bukan sok tapi ya pengen belajar aja dan kalo gak dimulai kapan saya bisa nya. Tapi, sayangnya saat ini saya akan membahas mengenai hal yang berkaitan dengan Bahasa Indonesia. Jada maafkan hamba yang akan nulis pake Bahasa Indonesia :D


Berawal dari kegemaran saya berselancar di dunia maya menggunakan papan kunci (keyboard). Waktu itu lagi rame masalah parkir vs berhenti yang melibatkan supir taksi dengan dua orang polantas. Ada sebuah tulisan dari kompasiana yang membahas hal tersebut dan mencoba mencari penengah antara mana yang salah antara polisi dan supir taksi tersebut. Sehabis membaca tulisannya saya penasaran dengan sosok penulis bernama Gustaaf Kusno ini mulai lah saya baca-baca artikel-artikel yang dia publish di akun miliknya. Dan berhenti di sebuah tulisan yang membahas kesalahan orang pada umumnya dalam menggunakan kata ‘Tidak Masalah’ yang seharusnya ‘Bukan Masalah’.

Menurutnya penggunaan kata ‘Bukan’ adalah untuk mengingkari Kata Benda dan kata ‘Tidak’ adalah untuk mengingkari Kata Kerja. Sedangkan Masalah adalah Kata Benda maka yang patutnya digunakan adalah ‘Bukan Masalah’.


Lalu apa perbedaan dari keduanya? Ini sudah jelas. Penggunaan ‘Bukan Masalah’ adalah penggunaan yang merujuk pada tata bahasa Indonesia. Artinya segela ketentuan harus diterapkan sesuai kaidah. Jika tidak maka itu salah. Dan penggunaan ‘Tidak Masalah’ adalah penggunaan yang merujuk pada kebiasaan. Bahkan dalam tulisan beliau sendiri disertakan hasil survei mengenai hal tersebut dan 66% memilih Tidak Masalah. Artinya kebiasaan orang menggunakan hal ini dalam percakapan bahkan mungkin dalam tulis menulis.


Lalu mana yang benar? Mengikuti aturan baku atau kebiasaan yang sudah massive ini?

Jawabannya coba kita kembali ke masa lalu ketika mungkin Bahasa belum ada. Guna Bahasa adalah untuk komunikasi atau menyampaikan informasi kepada orang lain. Maka munculah kebiasaan orang menyebutkan sesuatu dengan suatu kata. Dan ini mungkin akan terus berubah seiring semakin banyaknya jumlah manusia. Makanya tidak salah jika Bahasa di dunia ini begitu beragam. Beberapa memiliki induk Bahasa yang sama? Lalu kenapa berbeda? Ini disebabkan kebiasaan masing-masing yang berbeda di setiap wilayah. Orang yang tinggal di pantai cenderung berbicara dengan lantang dibandingkan dengan yang tinggal di daerah perkotaan. Karena mereka memang terbiasa berteriak.

Lalu, mana yang lebih dahulu kebiasaan atau aturan tata Bahasa? Ini sudah jelas lebih dulu kebiasaan barulah muncul tata Bahasa. Yang gunanya untuk memudahkan seseorang mempelajari kebiasaan orang lain dalam menggunakan suatu Bahasa. Contoh sederhananya saja grammer Bahasa inggris ditemukan oleh anak kecil budak yang mencoba memahami Bahasa pribumi (Bahasa Inggris). Tapi keduanya saling melengkapi karena tanpa tata Bahasa budaya tidak akan terjaga. Dan tata Bahasa juga harus mengikuti juga zaman yang berlaku. Karena banyak benda baru ditemukan tapi namanya belum ada.


Dan beliau juga lupa mengenai kebiasaan orang menyingkat kalimat yang panjang menjadi sederhana. Dan dalam Bahasa inggris pun ini menjadi suatu nilai lebih. Misalnya kita mengikuti test IELTS dan kita menggunakan tehnik Omitting atau Abridgment. Dengan memendekan kalimat justru kita mendapat poin lebih.


Dalam grammer dasar kita mengenal istilah noun phrase yang berarti frasa yang memiliki kata inti berupa kata benda (noun). Lalu dalam penulisannya biasanya noun diletakan di akhir. Sehingga kata ruang kosong dalam Bahasa inggris kita kenal dengan istilah ‘Blank Space’ (jadi inget lagu siapa ya lupa). Tapi kita pasti sering melihat di papan reklame di jalan raya ada tulisan ‘Space Available’. Lah kok dibalik? Space kan noun dan available itu adjective? Kenapa dibalik? Disini grammer tingkat dewa bermain. Kalimat yang kita lihat ‘Space Available’ menyembunyikan kalimat yang sesungguhnya yaitu ‘ Space which is available’ apakah salah? Tidak.


Dalam hal ini saya berasumsi mengapa demikian, adalah untuk memudahkan dan tidak beribet. Toh semua ngerti kok. Toh tujuan Bahasa juga komunikasi biar orang ngerti. Dan asumsi yang muncul juga bisa jadi kalimat ‘Tidak Masalah’ juga memiliki kalimat yang disembunyikan misalnya ‘Tidak Menjadi Sebuah Masalah’.


Jadi menurut saya sah sah saja orang mengakatakan ‘Tidak Masalah’ ataupun ‘Bukan Masalah’. Namun jika dalam tulisan resmi seperti surat kepresidenan mungkin harus menggunakan kaidah yang benar. Meskipun mungkin saja kaidah ini bisa saja berubah toh Bahasa adalah hasil produk budaya yang masih bisa berubah dan berkembang. Jadi mau mengakatakan ‘Tidak Masalah’ ataupun ‘Bukan Masalah’ ya buat say amah tidak masalah. :)

0 komentar:

Posting Komentar